Jumat, 25 November 2011

Secret Admirer

Aku masih terpaku memandang gemawan putih keperakan yang berarak di atas kepalaku. Duduk di bawah pohon oak tua ditemani semilir angin musim semi di Paris memunculkan kembali kenanganku tentangmu. Meski tiga tahun telah berlalu, ingatanku tentangmu masih sesegar bunga daisy yang tumbuh liar di dekat apartemenku. Mungkin kini kamu sudah melupakanku, tapi tidak denganku. Pena di tanganku masih menari, menggoreskan puisi tentangmu.


*
Pertama kali aku melihatmu adalah ketika awal masa SMA. Awalnya aku tidak peduli padamu, aku hanya memikirkan bagaimana cara beradaptasi di lingkungan baruku. Aku sama sekali cuek padamu sampai hari itu tiba, hari di saat aku mulai menyadari kebaikan hatimu, saat tanpa kusadari benih simpati dalam hatiku mulai tumbuh menjadi cinta.
Saat itu hujan turun sangat deras, aku berjalan pulang di bawah naungan payung mungilku. Di tengah jalan, aku melihatmu memungut seekor anak kucing yang kedinginan karena tercebur ke dalam genangan air, lalu kamu melepas jaket dan menyelimuti anak kucing dengan jaketmu. Dengan hati-hati kamu menggendongnya, lalu membawa anak kucing itu pulang.
Di tengah rintik hujan dan lalu lalang manusia yang berseliweran di sekitarku, aku masih terpaku. Aku terpesona oleh kehangatan hati dan kepedulianmu pada seekor anak kucing buangan yang menderita. Ketika orang lain melewati kucing itu dengan cuek dan pura-pura tidak tahu, kamu mengulurkan tanganmu. Saat itu juga terpikir olehku sebait puisi yang terinspirasi darimu.
Rintik hujan, menyerbu bumi
Menghantam dedaunan, menyapa rerumputan, menyapu tanah, menyiram hati.
Di tengah dingin angin yang menderu
Kulihat secercah rona kehangatan, memecah kebekuan
Di antara lalu-lalang manusia, kulihat dirimu
Memeluk kucing kecil yang menggigil
Terpaku, terpaku aku karenamu…
*
Sejak hari itu, aku mulai memperhatikanmu. Dari jendela kelasku kulihat dirimu berlaga di lapangan basket. Tanganmu yang kokoh men-dribble benda bulat oranye, menghindari lawanmu, lalu kamu pass benda bulat oranye itu kepada temanmu. Temanmu mendribble, kembali melemparkan padamu lalu kamu men-shoot ke dalam ring. Masuk! Benda bulat itu membobol ring dengan sukses lalu menggelinding di atas lapangan. Kamu langsung berteriak kegirangan lalu berlari menuju teman-temanmu. Mereka menyongsong dirimu dengan gembira. Walaupun aku tidak ada di antara kamu dan teman-temanmu, aku ikut merasakan kegembiraan yang kaurasakan. Sampai akhirnya sebuah spidol terbang menghajar jidatku.
*
Kamu sangat jago memainkan gitar. Pada jam istirahat aku sering melihatmu memetik senar gitarmu dengan lihai di bawah pohon akasia yang tumbuh subur di taman sekolah. Dari jauh aku tak berhenti menikmati alunan musik yang kau ciptakan dari petikan senar gitarmu sampai aku melupakan rasa lapar yang menjajah perutku. Saat itu, mendadak telingaku menjadi tuli akan suara sekitarku, mataku buta akan objek lain selain sosokmu, dan aku tenggelam dalam dunia yang isinya hanya dirimu dan aku. Kudengar irama indah dari gitarmu dan telingaku terus menangkap syair lagu cinta yang terucap dari bibirmu. Saat itu aku jadi berharap lagu itu kamu tujukan untukku.
*
Tak terasa sudah 2 tahun kusimpan perasaan cinta untukmu, sudah kupenuhi buku diariku dengan puisi dan cerita tentangmu, dan hal itu belum kamu sadari. Aku pun baru ingat bahwa kita belum pernah berbicara selain dalam tim debat dan diskusi kelas. Aku ingin ngobrol denganmu supaya aku lebih tahu banyak tentangmu dan begitu pula sebaliknya. Aku ingin kamu lebih menyadari keberadaanku. Tapi aku hanyalah gadis yang pemalu dan aku terlalu takut untuk mengutarakan perasaanku sendiri. Perasaan takut ditolak dalam jiwaku terlalu besar, membuatku merasa bahwa menyimpan perasaan ini dalam-dalam lebih baik dibandingkan dengan harus mengutarakannya.
*
Sudah puluhan surat kutulis untukmu, tapi tak pernah kuberikan. Kubiarkan semuanya menjejali laci meja kamarku. Surat-surat itu tak pernah sampai padamu, tapi tanganku tak berhenti menari bersama penaku untuk mencurahkan perasaanku padamu di atas kertas. Terkadang aku merasa diriku ini adalah pecundang, tapi yah...itu memang diriku. Aku adalah pecundang yang tidak pernah jujur tentang perasaanku, hanya pecundang yang berani melihatmu dari jauh, menatap mata indahmu yang berwarna kecoklatan, melihat tawamu yang membuat hatiku berdesir. Dan terkadang aku melihatmu bersedih, murung, dan bermuram durja. Ingin sekali aku menghampirimu, memelukmu, lalu menghiburmu dengan kata-kata yang memotivasimu. Tapi siapa diriku bagimu? Bukan siapa-siapa, hanya seorang pencinta yang hanya bisa menikmati senyummu dari jauh.
*
Akhirnya kucoba untuk memberanikan diri menyapamu. Pagi hari sebelum bel masuk berdering, aku berdiri gelisah di koridor menunggu dirimu lewat di depanku. Aku hanya ingin mengatakan ‘hai’ atau ‘selamat pagi’, dan setelah itu aku akan buru-buru minggat dari hadapanmu. Aku sangat gugup, sinat mentari pagi menyinari keningku yang basah oleh keringat. Kakiku mengetuk-ngetuk lantai, dan sesekali aku melongok ke ujung koridor mencari sosokmu. Tapi kamu tidak kunjung terlihat sampai bel berdering menghancurleburkan rencanaku. Ternyata hari itu kamu absen karena harus mengikuti pertandingan basket tingkat kota. Aku cukup kecewa, tapi biarlah. Mungkin ini belum saatnya bagiku untuk berbicara denganmu.
*
Beberapa minggu pun berlalu setelah hari itu. Hari itu aku mengikuti ekstrakurikuler tata boga, dan kebetulan saat itu aku dan teman-temanku ditugaskan membuat Apple Pie, makanan kesukaanmu. Aku mengerjakan tugas membuat pie itu dengan sepenuh hati. Aku membuat dua porsi pie. Yang satu untuk dinilai, dan yang satunya lagi untuk kuberikan padamu. Pada jam istirahat, diam-diam aku menitipkan pie itu pada teman satu timmu yang kukenal. Namanya Adnan. Kukatakan padanya supaya tidak memberitahu padamu bahwa akulah yang memberikan pie itu untukmu.
“ Tumben kamu ngasih kue, Vian. Ada acara apa, nih?” tanyanya padaku.
“ Umm...kue itu untuk Rion. Kebetulan tadi pas tata boga aku ditugaskan untuk membuat apple pie. Aku tahu Rion suka apple pie, jadi...kuberikan saja untuknya,” jawabku.
“ Tapi kok pake perantara aku segala, sih?” tanya Adnan heran.
“ Ngg...itu...ada, deh! Pokoknya kamu kasih aja ke Rion, ya?” sahutku panik. Adnan senyum-senyum melihat tingkahku. Tidaaak! Jangan sampai Adnan menyadari kalau aku ada hati padamu.
Beberapa saat kemudian, bel masuk berdering menyelamatkanku. Aku langsung berlari menuju kelas meninggalkan Adnan. Dari jendela kulihat Adnan memberikan pie buatanku padamu. Jantungku berdebar, darahku berdesir. Mataku serasa tak bisa dikedipkan dan aku seakan lupa bernafas saat kulihat kamu mengambil sepotong pie buatanku lalu memasukkannya ke dalam mulutmu. Kulihat kamu tersenyum, kepalamu mengangguk-angguk lalu dari gerak bibirmu aku tahu kamu mengucapkan kata ‘enak’. Oh Tuhan....andaikan aku punya kuasa untuk mengendalikan waktu, aku ingin saat itu dihentikan supaya aku bisa melihat senyummu yang kamu sunggingkan setelah mencicipi pie buatanku lebih lama. Kebahagiaan serasa akan meledak dalam dadaku, rasa capek setelah berusaha keras membuat pie itu terasa lenyap, tak berbekas.
*
Waktu merambat begitu cepat, sampai  kita berada di penghujung masa SMA. UAN dan UAS sudah kita lewati. Tiga tahun sudah kupendam perasaanku untukmu. Setelah ini mungkin kita akan berpisah, dan aku tak mau aku dan kamu berpisah sebelum kamu mengetahui perasaanku untukmu. Saat graduation party di aula sekolah, aku berusaha keras untuk berbicara denganmu walaupun sejenak. Tapi usahaku sia-sia. Aku tidak berhasil berbicara denganmu karena suasana terlalu ramai dan berisik. Akhirnya kutunggu sampai pesta berakhir.
Setelah pesta bubar, kucoba memantapkan hati dan kukumpulkan semua keberanianku untuk ungkapkan rasa cinta yang sudah lama kupendam untukmu. Aku mencarimu di pelataran parkir, dalam ruangan panitia, tapi aku tidak menemukanmu. Aku pun bertanya pada Adnan yang kujumpai di ruang panitia. Dia mengatakan bahwa kamu berada di taman belakang sekolah. Tanpa basa-basi lagi aku langsung meninggalkan aula dan berlari menuju taman belakang, berharap agar bisa cepat menemukanmu. Tapi yang kulihat di sana adalah pemandangan yang sangat tidak ingin kulihat. Kulihat kamu memeluk seorang gadis yang kukenal sebagai adik kelasku. Aku mematung, hatiku remuk redam oleh penyesalan yang dalam, dan air mataku menetes. Rasa tidak percaya menyelubungi pikiranku, lalu refleks aku berlari meninggalkanmu. Kamu melepaskan pelukanmu lalu menatapku heran.
*
Kubatalkan niatku untuk kuliah di dalam negeri dan terbang ke Prancis untuk melanjutkan studiku. Bukannya aku melarikan diri, aku hanya ingin menenangkan hati dan berjanji untuk jadi lebih tegar. Penyesalan memang selalu datang belakangan, tapi aku tidak ingin penyesalan ini terus menggerogoti pikiranku. Aku berharap ketika aku pulang dari Paris, aku bisa bertemu denganmu dengan wajah tersenyum, bukan dengan wajah yang berurai air mata.
Tiga tahun memang sudah menghapus sebagian penyesalanku, sejauh apapun aku pergi, hatiku masih tertinggal padamu. Aku memang harus merelakan kisah tentang dirimu sebagai bagian tersembunyi dari masa laluku. Penaku masih menari, menggoreskan puisi tentangmu. Puisi yang selalu kutulis setiap teringat akan dirimu.


 Cerpen ini pernah dimuat di Batam Pos edisi Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar