Jumat, 25 November 2011

Aku dan Sepeda Ontel

Selama hidupku yang sudah berjalan selama 17 tahun ini, belum pernah sekalipun aku marah pada papaku. He’s the best father ever! Yang paling kusuka dari beliau, dia tidak pernah menolak apa yang kuminta. iPhone, laptop, sampai mobil pun dia belikan dengan senang hati. Kuakui aku memang sangat manja padanya, karena hanya papa orang tua yang kupunya. Papa juga sangat memanjakanku, seakan membayar hutang kasih sayang yang tidak kudapat dari Mamaku. Mama meninggal  di saat aku masih terlalu kecil untuk mengingat wajahnya.
***


Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah, aku menikmati sarapanku terlebih dahulu. Roti bakar dengan selai nanas kesukaanku, ditemani segelas susu coklat membuat semangatku bangkit. Tetapi semangat itu perlahan luntur  di saat papa mengambil kunci mobilku.
“Kiara sayang, mulai hari ini sampai bulan depan, kamu tidak akan membawa mobilmu ke sekolah,” kata papa sambil mengayun-ayunkan kunci mobilku.
Susu yang sedang kuminum hampir muncrat, “lho, kenapa, Pa? “
Papa tersenyum penuh arti, “ mobilmu perlu istirahat, Sayang.”
Huh, aku dapat mencium kebohongan dalam kata-kata papa.
“Lalu aku ke sekolah naik apa? Papa antar?” tanyaku.
Papa mengayunkan telunjuknya.
“Tidak, Kiara. Papa sudah menyiapkan kendaraan baru untukmu. Coba lihat ke garasi,” sahut papa, lalu dengan santai meminum kopinya.
Semangatku semakin rontok. Sial, firasatku gak enak.
Aku langsung berlari ke luar dan membuka garasi. Astagaa… di sana terparkir sebuah sepeda butut. Kalau kulihat, seperti sepeda peninggalan zaman kompeni. Oh tidaak… aku akan mengendarai benda ini ke sekolah selama sebulan? Tidak, tidak! Kalau sepeda fixie, atau setidaknya mountain bike, mungkin aku masih bisa tolerir. Tapii…
Sepeda ontel??? Butut pula!!
Semangatku hilang tak berbekas.
“PAPA JAHAAAAT!” pekikku kesal.
***
Aku hanya bisa menahan malu dan  capek ketika mengayuh sepeda bututku di tanjakan. Keringatku bercucuran dan kakiku pegal. Aku tidak mengerti, apa sih maksud papa menyuruhku mengendarai sepeda ke sekolah? Apa dia menyuruhku diet? Kurasa tidak. Berat badanku sudah ideal meski tubuhku tidak cukup tinggi. Kalau mau menghemat anggaran bensin juga kurasa bukan, aku membeli sendiri bahan bakar mobilku dengan menyisihkan uang saku.
Beberapa temanku mendahului dengan sepeda motor. Mereka menyoraki dan menertawaiku.
“Oemar Bakrie! Oemar Bakrie! Hahaha!” ledek mereka.
Aku hanya bisa diam sambil menatap tajam, nafasku memburu sehingga aku tidak kuat berteriak untuk membalas mereka.
***
Begitu sampai di sekolah, aku langsung memarkir sepeda di samping kantin.  Sepeda itu tidak kuparkir di area parkir, karena pasti akan terlihat konyol jika disandingkan dengan kendaraan lain.
Aku pun masuk ke dalam kelas setelah mengelap keringat. Beberapa temanku yang tadi melihatku bersepeda pun meledek.
“Mobilmu diloak ya, Ra? Kok pake sepeda ontel?” tanya Erisa dengan nada sinis.
“Kenapa, iri???” balasku jutek. Sebenarnya aku tidak ingin membalasnya dengan kata-kata. Aku ingin langsung menendangnya. Namun energiku keburu terkuras karena mengayuh rangkaian besi tua itu. Ditambah lagi, aku harus menyimpan cadangan energi untuk perjalanan pulang nanti. Aku pun memalingkan muka, kulewati bangkunya dengan sikap sok tidak peduli (padahal sumpah, aku ingin sekali meninju mukanya), lalu duduk di bangkuku.
***
Bel pulang pun berdering. Kutunggu hingga sekolah sepi supaya tidak banyak yang melihatku mengendarai sepeda butut itu. Sampai sekolah benar-benar sepi, aku harus menunggu setidaknya satu jam. Sungguh, menunggu adalah hal yang paling kubenci dalam hidupku.
Setelah satu jam berlalu, aku pun turun dan berjalan menuju sepedaku yang teronggok seperti rongsokan di samping kantin. Suasana siang ini sangat panas dan terik.  Jika aku mengendarai mobil, aku tidak akan mengalami situasi tidak menyenangkan seperti ini.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan karena tidak banyak jalan menanjak seperti yang kulewati tadi pagi, tapi panas matahari masih sangat menyiksa. Jika aku sampai di rumah, aku berjanji akan merampok kulkas untuk membayar hutang pada kerongkonganku.
***
Keesokan harinya, aku masih harus menaiki sepeda itu. Rasa malas menjalari tubuhku, sudah terbayang di benakku ejekan nyinyir Erisa dan teman-temannya, ledekan pengendara motor, tubuh yang penuh keringat saat sampai di sekolah, dan penderitaan saat mengayuh di tanjakan maut. Aaah! Kesal!
Dengan ogah-ogahan aku sarapan, lalu pamitan pada papa. Papa hanya senyum-senyum melihat tampangku yang kuyu, memelas, berharap papa akan berubah pikiran dan mengizinkanku bawa mobil lagi.
“ Masih 29 hari lagi, sayang… yang semangat ya,” ujar papa.
Aku lemas, jurus memelasku gak mempan.
Tanpa bicara sepatah katapun aku melangkah ke garasi, mengelus mobilku tercinta, lalu mengeluarkan sepeda butut itu. Rantai sepeda berderit saat aku mulai mengayuhnya, tampaknya kurang diminyaki, jadi ruas-ruas rantai sudah dicokoli karat. Suaranya membuatku ngilu.
Setelah mengayuh beberapa ratus meter, mulai terasa ada yang aneh pada sepedaku. Kukayuh secepat apapun, rodanya nyaris tidak berputar. Aku pun turun dan memeriksanya. Sial! Rantainya slack! Haduh! Parah nih! Kalau kubawa ke bengkel dulu, aku akan terlambat! Mau diperbaiki pun, aku tidak punya bakat montir sepeda!
Aha! Sebuah ide melintas di kepalaku. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk menyingkirkannya! Kubuang saja sepeda ini, lalu nanti kubilang pada papa kalau sepedanya dicuri orang. Jika situasinya seperti itu, papa pasti akan menyerahkan kunci mobilku kembali. Sempurna!
Kuseret sepeda butut itu ke semak-semak, lalu kutinggalkan. Dengan langkah riang aku berjalan kaki ke sekolah. Bye-bye sepeda ontel! Hahaha!
***
Sepulang sekolah, setelah sampai di rumah, aku melenggang masuk dengan ceria. Papa sudah di rumah, mungkin beliau pulang cepat.
“ Kiara, mana sepedamu?” tanya papa dengan ekspresi heran.
“ Hilang, Pa. Dicuri orang, kali? Berarti mulai besok Kiara bawa mobil lagi ya!” sahutku ceria tanpa rasa bersalah.
Papa terdiam, dia tampak sedih, tapi aku tidak peduli. Yang penting sepeda itu sudah lenyap!
***
Malam pun tiba, aku menikmati makan malamku dengan penuh semangat, tapi papa kelihatannya tidak berselera. Aku heran, apakah harus sesedih itu kehilangan seonggok besi berkarat yang tidak ada gunanya? Melihat papa murung begitu, aku jadi gak enak juga.
Setelah makan pun, papa tidak mengajakku bicara seperti yang biasa ia lakukan. Aku mulai merasa bersalah, mungkin sepeda itu memiliki arti bagi papa, dan aku telah membuangnya. Tanpa pikir dua kali aku berlari ke luar. Kulangkahkan kakiku cepat-cepat ke tempat di mana sepeda itu tadi kubuang. Setelah menyibakkan semak belukar, kutemukan sepeda itu masih teronggok. Aku menghembuskan nafas lega, untung saja belum diambil pemulung.
Sepeda itu kubawa ke rumah, lalu kucoba untuk memperbaikinya. Bajuku sampai belepotan oli, tapi aku tidak peduli. Mungkin ini  adalah hukuman untukku karena sudah membuat papa sedih.
***
Kuputuskan untuk menyelesaikan sisa 28 hari bersama sepeda butut itu. Panas terik dan rasa lelah akan kutahan. Aku tidak ingin mengecewakan papa lagi.
Saat pulang sekolah, sinar ultraviolet menari-nari di jidatku. Panas luar biasa! Di saat aku tengah membayangkan semangkuk es gunung yang segar dengan whipped cream dan cherry di atasnya, seseorang tiba-tiba melintas. Aku panik, kucoba mengerem, tapi ternyata terlambat. Jika aku tidak menghindar, orang itu akan tertabrak. Spontan kubanting stang (biasanya aku banting setir), lalu sepedaku nyungsep ke semak-semak di pinggir jalan. Damn! Kakiku lecet.
 “Kamu gak apa-apa?” tanya orang yang hampir kutabrak tadi. Aku mengangkat kepala, dan kulihat wajahnya. Ternyata dia cowok, masih muda, seusia denganku. Aku hanya bisa mengangguk.
“ Kamu sekolah di Tiara Bangsa ya? Seragammu mirip dengan seragamku. Mulai besok aku juga sekolah di sana,” ujarnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
“Gak nanya! Sakit nih, tanggung jawab!” balasku jutek. Kucoba menyembunyikan kekagumanku, karena, yeah, I must confess that he is very nice and adorable!
“Hahaha, OK, OK,” sahutnya sambil tertawa. “Aku salut deh, zaman sekarang masih ada aja anak SMA yang mau mengendarai sepeda ke sekolah. That’s unique.”
Oh Tuhan, aku merasa ini adalah keberuntungan pertamaku karena naik sepeda ontel.  Selama ini, aku tidak pernah menemukan orang yang bisa tertawa setulus ini padaku.  Semua yang mengenalku hanya memandang materi yang kumiliki, sementara diriku sendiri terpuruk, tenggelam di tengah gemerlap materi itu.
Cowok itu mendirikan sepedaku, lalu menaikinya.
“Ayo naik!” serunya.
Aku masih bengong.
“Lho, kok malah melamun? Takut kuculik ya? Tenang, aku bukan anggota organisasi atau oknum kriminal kok. Kakimu sakit, jadi biar kuantar. Oh ya, rumahmu di mana?”
Aku berusaha menyembunyikan rasa senangku, lalu pasang tampang jutek.
“Nanti aku tunjukin,” jawabku.
“Hm…Baiklah. Ayo naik. Oh ya, kalau sudah sampai rumah, jangan lupa obati kakimu, nanti infeksi.”
Aku mengangguk, lalu duduk di atas boncengan. Perlahan sepeda ontel butut ini membawa kami menyusuri jalan. Beberapa orang terlihat heran melihat kami berdua, tapi aku tidak peduli. Baru kali ini aku merasakan kebaikan yang tulus dari orang lain. Diam-diam, aku tersenyum.
***
Hari-hari berlalu tanpa terasa olehku. Setiap pulang sekolah, Rio, cowok yang hampir kutabrak itu memboncengku pulang. Awalnya dia kaget saat melihat rumahku (yeah, memang lumayan besar untuk ukuran siswi SMA yang naik sepeda butut ke sekolah :p).  Aku hanya tertawa menanggapinya. Waktu yang bergulir membuat kami semakin dekat, aku merasa sangat beruntung bisa bertemu cowok sepertinya. Meskipun sederhana, dia memiliki hati yang sangat baik.
***
Sebulan pun terlewati sudah. Saat sarapan, aku menanyakan alasan papa menyuruhku membawa sepeda ke sekolah. Begitu kutanyai, papa tersenyum bijak.
“Kiara sayang, Papa punya 3 alasan menyuruhmu mengendarai sepeda. Pertama, papa ingin kamu jadi lebih sehat, selain sehat untuk tubuhmu, sehat juga untuk kantongmu. Kedua, papa ingin mengajarkan kamu untuk hidup sederhana dan mencintai lingkungan. Sepeda kan bebas dari gas buang berbahaya, hehe.  Ketiga, sepeda yang kamu kendarai itu adalah milik papa sewaktu masih muda. Dulu, Papa dan almarhumah mamamu bertemu karena sepeda ontel itu. Papa ingin kenangan indah itu tetap hidup, bahkan bisa kamu rasakan,” tutur Papa sambil menerawang langit di luar jendela, ia tersenyum dengan sorot mata yang sedih, seakan merindukan masa lalu yang tidak akan kembali.
“Benar juga sih, Pa. uang saku Kiara jadi awet, hehe ,” sahutku sambil tersenyum dan cengengesan untuk mencairkan suasana yang sempat mendingin. “Maafin Kiara ya, waktu hari pertama Papa menyuruh Kiara mengendarai sepeda itu, Kiara ngatain Papa jahat. Terus Kiara sempat membuang sepeda itu. ”
Papa mengacak rambutku. “Tidak usah dipikirkan, Sayang. Papa lihat kok kamu mengambil sepeda itu lagi dan memperbaikinya. Oh ya, ini kunci mobilmu. Kamu berhasil melewati satu bulan bersama sepeda itu, jadi kamu boleh bawa mobil lagi.”
Entah kenapa, aku tidak ingin lagi mengendarai mobil ke sekolah. Mungkin nanti hanya akan kupakai untuk jalan-jalan. Aku pun menggeleng. “Kiara sudah jatuh cinta sama sepeda itu, Pa. Mobilnya biarin istirahat aja dulu, hehe…”
Papa mengerutkan kening,awalnya beliau tampak bingung, tapi  ia mendadak tersenyum jahil. “Hayo, pasti ada alasan lain.”
Aku nyengir, lalu menyambar tas dan bilang, “Kiara berangkat ya, Pa! dadaah!”
“Kiara!” tegur papa. Beliau pura-pura cemberut.
“Nanti Kiara ceritaiiin!” sahutku dari atas sepeda. Aku tersenyum riang, sepeda ini seakan memiliki kemampuan mengulang sejarah. Dulu Papa dan almarhumah mamaku, sekarang aku dan Rio. Aku jadi kepikiran untuk memberi sepeda ini pada anakku kelak. Sepeda ini luar biasa! Masa bodo dengan tatapan heran orang-orang, ejekan nyinyir Erisa, atau ledekan basi para pengendara motor. Yang penting, aku telah temukan kebahagiaanku.
Yiihaa! XD


Tidak ada komentar:

Posting Komentar